dampak ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah

Indonesiaadalah Negara kepulauan terbesar yang terbentang dari sabang sampai marauke yang mana setiap Negara memiliki peraturan undang undang tentang otonomi daerah yang Indonesia sendiri di atur dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Untukmengadakan rehabilitasi dan normalisasi di daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh DI/TII Kartosuwiryo, TNI melancarkan operasi Budhi dan operasi Bhakti. 11. Ketidakpuasan Daud Beureuh terhadap pemerintah pusat terkait dengan kebijakan pemerintah membentuk provinsi Sumatera Utara. SEBAB Iniadalah upaya pemerintah provinsi untuk memperkecil ketimpangan, baik ekonomi maupun sosial yang telah terjadi di daerah Papua. Pemerataan pembangunan ekonomi menjadi tujuan utama kebijakan ini. Strategi lainnya yaitu penetapan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang berhasil ditetapkan untuk periode 2005-2025. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah gerakan pertentangan antara pemerintah RI dan daerah. Gerakan ini muncul pada 1950 di Sumatera. PRRI muncul karena ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu. Perlawanan PRRI dan upaya penumpasannya diyakini menimbulkan korban hingga puluhan ribu jiwa. Ketidakpuasanmasyarakar menyebabkan emosi meluap dan kemudoan dilampiasakan pada tindakan pemebeeontakam dan kerusuhan. Dampak yang dianggap berbahaya dan dapat mengancam keutuhan NKRI. Dampak demokrasi liberal secara positif dan negatif bagi bangsa Indonesia. Tentu dapat menjadi sebuah pembelajaran dalam menerapkan sistem demokrasi yang dianut. Rencontre Du Troisieme Type Film Complet Vf. – Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI adalah gerakan pertentangan antara pemerintah RI dan daerah. Gerakan ini muncul pada 1950 di Sumatera. PRRI muncul karena ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu. Perlawanan PRRI dan upaya penumpasannya diyakini menimbulkan korban hingga puluhan ribu jiwa. Latar belakang Pascakemerdekaan, kondisi pemerintahan belum stabil. Kesejahteraan dan pembangunan di awal kemerdekaan masih sangat pembangunan di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya memicu sentimen bahwa daerah "dianaktirikan". Sentimen ini kemudian melahirkan upaya-upaya revolusi di daerah. Pada Agustus dan September 1956 beberapa tokoh dari Sumatera Tengah mengadakan rapat dan pertemuan di Jakarta. Pertemuan itu dilanjutkan dengan reuni 612 perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada 20-25 November 1956 di Padang. Divisi IX Banteng adalah komando militer Angkatan Perang Republik Indonesia APRI yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan 1945-1950 dengan wilayah Sumatera Tengah Sumatra Barat, Riau, Jambi dan Kepulauan Riau. Dalam reuni itu muncul aspirasi otonomi untuk memajukan daerah. Disetujui pula pembetukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, komandan Resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Ahmad Husein mengklaim Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI terbentuk sejak 15 Februari 1958. Baca juga Awal Berdirinya Gerakan Permesta Tuntutan PRRI mengajukan tiga tuntutan kepada pemerintah pusat, yaitu Dibubarkannya Kabinet Djuanda Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX membentuk pemerintahan sementara sampai pemilihan umum berikutnya akan dilaksanakan Soekarno kembali pada posisi konstitusionalnya. Tuntutan lain yang juga diajukan oleh PRRI yaitu terkait dengan masalah otonomi daerah dan perimbangan ekonomi atau keuangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat dianggap tidak adil kepada para warga sipil dan militer soal pemerataan dana pembangunan. Sehingga mereka menuntut agar pemerintah bisa bertindak lebih adil, khususnya pada pemerataan dana pembangunan di daerah. Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Prof. Dr. R. Siti Zuhro, memberikan perhatian khusus terkait terhadap pola relasi Pusat-Daerah yang acapkali tidak harmonis. Hal itu umumnya disebabkan karena ketidakpuasan Daerah kepada Pusat. Menurutnya hal itu karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Mulai UU 22 Tahun 1999 sampai UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Permasalahan menonjol yang acapkali muncul adalah tarik-menarik kewenangan antara Pusat dan Daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di daerah.“Hubungan pusat dan daerah kurang harmonis. Daerah-daerah cenderung resisten dengan kebijakan pemerintah pusat. Trust issue sering kali muncul karena kebijakan pusat yang dianggap merugikan daerah. Oleh sebab itu, perlu mencari instrumen untuk menyatukan perspektif dalam menjalankan kewenangan daerah” kata Siti Zuhro dalam kegiatan Focus Group Discussion FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan PUSHEP bekerja sama dengan Ditjen Bina Pembangunan Daerah BANGDA dengan tema “Membangun Konsepsi Pelibatan Daerah Provinsi dalam Pengelolaan Mineral dan Batubara dalam Kerangka Pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2020”, Jakarta, 13/10/ lanjut Siti Zuhro menyoroti revisi besar UU Minerba UU Tahun 2020 yang pada intinya menyangkut isu pengelolaan dan pengawasan. “Perubahan krusial terkait pemindahan perizinan dan pengawasan dari pemerintah daerah kepada pusat kemudian menimbulkan pertanyaan lebih jauh bahwa apakah ini akan lebih efektif dan efisien serta memberikan kemanfaatan yang luas bagi rakyat” pemerintah daerah perpindahan kewenangan tersebut bisa menimbulkan berbagai risiko seperti hilangnya pendapatan daerah hingga kemungkinan kerusakan lingkungan karena tiadanya pengawasan pemerintah daerah terhadap kegiatan pertambangan di daerah. Siti Zuhro setidaknya mencatat dalam UU No. 3 Tahun 2020, kewenangan pemerintah daerah banyak yang dicabut. “Sedikitnya terdapat 15 pasal yang mengalihkan kewenangan daerah kepada pemerintah pusat. Olehnya itu, pengelolaan natural resource akan cenderung sentralistik”, Pemerintah Daerah tidak memiliki posisi tawar dan tidak terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah Daerah Provinsi bisa jadi tidak lagi merasa memiliki atau tak peduli terhadap natural resource dan juga terkait dampaknya terhadap lingkungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa UU Minerba yang baru ini menandai ditariknya kembali urusan yang menjadi kewenangan daerah, baik dari aspek perizinan maupun pengawasan. Permasalahan mendasar yang tersisa kedepannya adalah apakah pemerintah pusat mampu mengelola proses perizinan dan pengawasan wilayah pertambangan di seluruh Indonesia?Selain itu, Siti Zuhro juga mengatakan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang diserahkan ke daerah saat ini tidak efektif, karena kurang fungsional sehingga membuat daerah sering kehilangan kendali. Lebih lanjut, adanya perbedaan persepsi antara pusat dan daerah mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks NKRI kedaerahan dan keindonesiaan membuat pusat dan daerah seolah jalan sendiri-sendiri, padahal seharusnya dapat menciptakan sinergisitas antara keduanya sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan yang mengizinkan ekspor pasir secara massal dari negara ini. Kebijakan ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan para ahli. Sementara pemerintah berpendapat bahwa ekspor pasir dapat memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, banyak yang khawatir akan dampak negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat meskipun terlihat sebagai sumber daya alam yang melimpah, sebenarnya memiliki peran penting dalam lingkungan kita. Pasir adalah komponen penting dari ekosistem pesisir, dan berfungsi sebagai penyangga alami untuk pantai, serta tempat hidup bagi berbagai spesies laut. Ekspor pasir dalam jumlah besar dapat menyebabkan erosi pantai yang signifikan, merusak ekosistem pesisir, dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut yang itu, ekspor pasir juga dapat memiliki dampak sosial dan ekonomi yang merugikan. Banyak komunitas lokal yang bergantung pada sumber daya alam, termasuk pasir, untuk mata pencaharian mereka. Dengan adanya ekspor pasir yang besar-besaran, pasokan lokal dapat berkurang secara drastis, yang berpotensi mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan di daerah pendukung kebijakan ekspor pasir berpendapat bahwa langkah ini akan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi negara. Pasir digunakan dalam berbagai industri, termasuk konstruksi dan manufaktur, dan permintaan pasir di pasar internasional terus meningkat. Dengan ekspor pasir, pemerintah berharap dapat meningkatkan pendapatan negara dan mendorong pertumbuhan demikian, penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari kebijakan ini. Dalam mengambil keputusan terkait ekspor pasir, pemerintah harus memastikan bahwa langkah ini tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Perlu ada langkah-langkah mitigasi yang efektif untuk melindungi ekosistem pesisir dan mendukung komunitas yang itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan alternatif pengganti untuk industri yang bergantung pada pasir. Mendorong inovasi dan pengembangan bahan-bahan alternatif yang ramah lingkungan dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap ekspor pasir. Dalam menjalankan kebijakan ekspor pasir, pemerintah perlu memastikan adanya transparansi, partisipasi masyarakat, dan evaluasi yang terus-menerus terhadap dampak lingkungan dan sosialnya. Keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk ahli lingkungan dan masyarakat lokal, sangat penting Lihat Kebijakan Selengkapnya [ad_1] Jakarta, NU Online Pada era Presiden KH Abdurrahman Wahid Gus Dur telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Dasar hukum itu disebut juga sebagai UU Otonomi Khusus Otsus. Kini UU Otsus sudah hampir dua puluh tahun berjalan, tapi di Bumi Cendrawasih itu masih saja muncul suara-suara tuntutan ketidakpuasan. Padahal sudah ada UU Otsus yang seharusnya, secara konsep, mampu mengatur hidup dan kehidupan rakyat Papua. Penulis buku Gus Dur Islam Nusantara dan Kewarganegaraan Bineka Ahmad Suaedy menjawab, karena pemerintah hanya melakukan tiga dari delapan unsur penting yang terdapat di dalam UU Otsus itu. Tiga unsur yang sudah dilakukan pemerintah itu pun masih sangat jauh dari kenyataan. Pertama, soal dana Otsus. Menurut Suaedy persoalan ini sangat rumit diselesaikan. Sebab terjadi banyak korupsi, penyelewengan, dan penindasan. Dengan kata lain, wajar saja jika rakyat Papua kerap menyuarakan ketidakpuasan terhadap UU Otsus. Penyebabnya adalah karena terjadi pemangkasan dana dari pemerintah sendiri. Kedua, Majelis Rakyat Papua MRP. Secara konsep, kata Suaedy, MRP ini sangat bagus karena mewadahi tradisi Papua yang cenderung informal dalam pergaulan sosial-politik. Di MRP, terdapat ketua adat yang mewadahai para pemimpin yakni utusan adat, utusan agama, dan utusan perempuan. “Di sinilah Papua sebenarnya jauh lebih maju dari daerah mana pun. Karena tidak ada sebuah lembaga yang secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai unsur utama dari tiga unsur utama itu. Papua justru menjadi pelopor dalam hal ini,” ungkap Suaedy dalam Ziarah Pemikiran Gus Dur dan Papua pada Sabtu 12/12 lalu. Hanya saja, lanjutnya, pada periode kedua berjalannya UU Otsus, terjadi proses Litsus sebuah ungkapan sebuah penyaringan pada zaman orde baru. Di periode pertama, kata Suaedy, rekrutmen berjalan sangat baik karena masyarakat dibebaskan untuk bergabung dengan MRP. “Tapi periode kedua dan ketiga, ada semacam Litsus. Jadi orang yang masih menawar dan mengritisi pemerintah itu tidak bisa masuk. Padahal MRP ini didesain untuk memperdebatkan sesuatu yang belum selesai. Misalnya di dalam UU 21 itu ada tentang klarifikasi sejarah,” jelasnya. “Bagi persepsi semua orang pemimpin negara sekarang ini, klarifikasi sejarah itu seolah identik dengan tuntutan merdeka,” sambung Suaedy. Namun bagi Gus Dur, tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan damai. Soal klarifikasi sejarah yang terdapat di dalam salah satu pasal di UU Otsu situ, menurut Gus Dur, pasti akan bisa diselesaikan. Gus Dur beranggapan bahwa soal sejarah itu pasti akan bisa diselesaikan dengan kompromi. Sedangkan di dalam konflik, pasti terdapat jarak perbedaan pendapat 180 derajat. Misalnya aktivis Papua ingin merdeka, tapi pemerintah Indonesia ingin bersatu. Itulah 180 derajat. “Dalam proses dialog, semakin lama akan semakin menipis. Lalu menjadi nol derajat. Itulah yang seharusnya terjadi pada UU Otsus itu. UU Otsus berangkat dari perbedaan pendapat 180 derajat,” ungkap Anggota Ombudsman RI ini. “Tapi satu tahun kemudian, November 1999 hingga November 2000 terjadi proses kebebasan berpendapat yang sangat luar biasa. Saya melakukan penelitian bahwa tidak ada kekerasan pada saat itu. karena ada kebebasan. Jadi semua orang bisa bicara apa saja,” imbuhnya. Menurut Gus Dur, orang ingin merdeka dan mendiskusikan tentang kemerdekaan tidak bisa dilarang. Gus Dur memperbolehkan orang Papua untuk berfikir dan berdiskusi. Sebab yang tidak boleh adalah menyatakan kemerdekaan. “Maka dalam satu tahun itu, orang sangat bebas. Tapi tidak ada satu pun kelompok yang mendeklarasikan kemerdekaan. Karena dialog terus terjadi,” tutur Suaedy. Jadi, jika saat ini ada suara dari rakyat Papua yang tidak butuh pembangunan maka itu adalah suara keras. Namun kata Suaedy, kalimat yang lebih tepatnya adalah Papua tidak cukup dengan pembangunan tetapi harus ada martabat kemanusiaan untuk orang Papua. Ketiga, soal hukum adat. Di dalam UU Otsus, persoalan hukum ada sudah sangat jelas diatur. Menurut Suaedy, aturan soal hukum adat di Papua sebenarnya sama dengan syariat Islam di Aceh. “Syariat Islam di Aceh dibiayai dengan besar. Ada strukturnya, hakim dan UU-nya. Tapi kenapa di Papua tidak demikian? Ini kan masalah besar,” ucap Suaedy. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dibentuk tujuh wilayah adat di Papua. Namun Suaedy mengaku pernah datang ke beberapa wilayah adat tersebut dan tidak menemukan ada fasilitas apa pun. “Seharusnya kan mereka di Papua misalnya ada kantor, gaji, hakim, struktur birokrasi. Sebagaimana syariat Islam di Aceh. Tapi kenapa di Papua tidak begitu?” pungkas Suaedy, mempertanyakan. Pewarta Aru Lego Triono Editor Fathoni Ahmad [ad_2] Source link Sejak 31 Maret 2020, Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah menyatakan kondisi darurat kesehatan terkait wabah COVID-19 yang berdampak pada berbagai sektor kegiatan baik perekonomian dan sosial kemasyarakatan. Jokowi menyatakan darurat kesehatan nasional melalui sebuah Keputusan Presiden Keppres. Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar PSBB dan Peraturan Menteri Kesehatan Permenkes untuk pelaksanaan PSBB. Secara de facto, Indonesia kini berada dalam masa hukum tata negara darurat, sehingga hukum nasional yang tidak berlaku seperti dalam kondisi normal. Pelaksanaan hukum darurat ini membolehkan negara untuk melakukan hal-hal di luar prinsip hukum umum, termasuk mengesampingkan kewenangan otonomi daerah. Sayangnya, status darurat yang diberlakukan menafikan pengetahuan dan kemampuan pemerintah daerah dalam proses penanganan pandemi. Pemerintah daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak penanganan pandemi justru tidak dapat membuat keputusan sendiri dan bergantung pada keputusan pemerintah pusat. Read more Enam alasan mengapa orang Papua menolak pemekaran Tidak sejalan Selama masa darurat, pemerintah daerah banyak terkekang pemerintah pusat. Dalam menetapkan PSBB di suatu wilayah, misalnya, gubernur, bupati, atau walikota setempat harus membuat permohonan pada Menteri Kesehatan. Hal ini menyebabkan panjangnya waktu yang harus dijalani oleh Pemerintahan Daerah, dimana segala sesuatunya dalam keadaan Pandemi ini harus dijalankan secara cepat dan tepat. Contoh lain, pemerintah pusat memutuskan secara sepihak untuk mengganti model proses belajar mengajar, padahal tidak seluruh siswa di segala tingkat pendidikan dapat mengikutinya. Dinas pendidikan di tingkat daerah tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerahnya. Meski dilegalkan dalam kondisi darurat, kekang pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah di atas berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang sudah lama diperjuangkan sejak reformasi. Otonomi daerah adalah salah satu prinsip dasar yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak boleh dilanggar. Konstitusi sendiri merupakan kesepakatan mengenai prinsip yang dianut oleh bangsa Indonesia. Dalam hal otonomi daerah, Pasal 18 ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 telah menjelaskan secara jelas bahwa otonomi daerah dijalankan secara seluas-luasnya kecuali urusan yang secara nyata telah ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Selama kesepakatan tersebut belum berubah, maka konstitusi tetap berlaku dan wajib dihormati seutuhnya. Otonomi daerah bertujuan untuk memberikan keleluasaan agar daerah mampu memaksimalkan potensinya, sehingga ketimpangan antar daerah yang terjadi dapat ditekan. Tapi keleluasaan tersebut ditarik kembali selama pandemi yang akhirnya menyebabkan perlambatan pelaksanaan penanganan pandemi di daerah. Pembukaan kembali bandar udara, pergerakan penduduk dengan persyaratan khusus, dan tetap beroperasinya kereta Commuter Line di Jabodetabek Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah beberapa contoh ketidakharmonisan hubungan pusat dengan daerah yang bersama-sama berperang melawan wabah. Pemerintah daerah dibuat tidak berdaya untuk menghentikan beberapa keputusan yang diambil oleh pemerintah pusat. Read more Janji pemerintah untuk melindungi hak masyarakat adat belum terwujud 2 hal yang perlu dilakukan Pentingnya kolaborasi Dalam masa pandemi, kolaborasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah seharusnya dapat tercipta. Kolaborasi sangat penting karena pemerintah daerah lebih memahami kondisi sosial kemasyarakatan, budaya, geografis, dan segala aspek terkait daerah mereka, sehingga mereka dapat merumuskan strategi yang tepat untuk melawan pandemi ini untuk masyarakat masing-masing. Bentuk kolaborasi tersebut merupakan salah satu dari tiga model hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah. Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah yang pertama adalah bentuk model relatif di mana pemerintah pusat memberikan kebebasan pada pemerintah daerah dengan tetap memberikan pengakuan terhadap pemerintah pusat. Selain itu, ada model agensi yaitu ketika pemerintah daerah hanya sebagai agen dan pelaksana teknis dari kebijakan-kebijakan yang seluruhnya dibuat oleh pemerintah pusat lalu ada model interaksi yang merupakan bentuk model yang paling fleksibel. Dalam model interaksi, pemerintah pusat memberikan kebebasan yang amat luas kepada daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan, selama kebijakan tersebut dianggap menguntungkan kedua belah pihak. Dari ketiganya, model relatif menjadi model yang disepakati oleh pemerintah Indonesia sebagai proses pelaksanaan otonomi daerah. Meski dalam kondisi otonomi daerah, pemerintah pusat dapat menjadi dominan sehingga bisa memiliki imunitas untuk melakukan tindakan-tindakan di luar kewajaran dalam praktik hukum darurat, seperti yang diungkap oleh William Nicholson, seorang profesor hukum di North Carolina Central University, Amerika Serikat. Imunitas ini kemudian membuat negara dan perangkatnya tidak dapat dituntut secara hukum. Namun Nicholson juga mengatakan bahwa imunitas tersebut harus dijalankan berdasarkan prinsip kehati-hatian yang mengutamakan kepentingan publik. Read more Kapasitas beberapa pemerintah daerah naik dalam mengelola pendidikan dasar, apa pendongkraknya? Upaya pencegahan Ke depan, perlu ada solusi untuk mencegah dominasi pemerintah pusat atas pemerintah daerah khususnya dalam kondisi darurat negara, selain dari kondisi darurat militer. Perlu ada peraturan perundangan yang secara lebih spesifik untuk mengatur hubungan antara dengan hubungan pusat dan daerah, terutama dalam keadaan darurat. Indonesia belum memiliki regulasi baik undang-undang maupun segala tata aturan pelaksananya yang mengatur kondisi darurat negara. Undang-Undang UU No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah hanya mengatur adalah mengenai perubahan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam kondisi darurat. Tanpa harus membuat UU baru, pemerintah dapat merevisi UU No. 23 tahun 2014 dengan memberikan desentralisasi secara luas sebagaimana amanat UUD 1945, tidak hanya dalam hal realokasi anggaran namun juga pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah. Harapannya, pemerintah pusat dan daerah bisa bersinergi menghadapi situasi darurat kesehatan nasional, dan pemerintah pusat tetap bertindak dalam koridor konstitusi. Ikuti perkembangan terbaru seputar isu politik dan masyarakat selama sepekan terakhir. Daftarkan email Anda di sini.

dampak ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat adalah